Nama Jokowi, mantan Walikota Solo yang saat ini menjabat Gubernur DKI Jakarta ini muncul sebagai sosok Capres paling potensial bukan karena dukungan partai, seperti sinyal yang diberikan Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan, dalam Rakerna III PDI Perjuangan lalu, juga bukan karena keberhasilannya memimpin Jakarta, bagaimanapun juga tidak mungkin menilai keberhasilannya dalam waktu singkat, setidaknya masyarakt tahu apa yang dikerjakannya, dan bagaimana caranya memimpin Jakarta.
Sejak kemunculannya di panggung politik nasional, saat diusung PDI Perjuangan dan Gerindra sebagai Cagub DKI Jakarta berpasangan dengan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), yang akhirnya dimenangkannya. Sosok Jokowi menyedot perhatian masyarakat, bukan saja warga Jakarta, tetapi rakyat Indonesia menyaksikan sosok pemimpin yang tidak canggung blusukan ke kampung-kampung kumuh Jakarta, berbicara secara langsung dengan masyarakat, mendatangi mereka dan mendengarkan apa yang mereka keluhkan, bahkan dengan santai melahap hidangan yang disajikan di warung, ditengah-tengah mereka.
Perhatian masyarakat yang tinggi ini pula yang mendorong media meliput kehidupan pribadi Jokowi, maupun saat menjabat Walikot Solo, masyarakat pun melihat Jokowi yang sederhana, Walikota yang di bagasi mobilnya selalu tersedia beras untuk rakyatnya, Walikota yang tegas memegang prinsip, berani menolak perintah atasannya gubernur Jawa Tengah, saat itu dijabat Bibit Waluyo, saat ingin membongkar Pabrik Es Saripetojo yang merupakan bangunan cagar budaya untuk dibangun pusat perbelanjaan. Liputan-liputan media ini mendorong rakyat membuat kesimpulannya sendiri, mereka melihat apa yang dilakukan Jokowi saat kampanye Pilgub dan apa yang dilakukannya saat ini sebagai Gubernur DKI Jakarta adalah sebuah kejujuran, bukan sekedar pencitraan.
Kejujuran Jokowi inilah yang menjadi magnet politik. Di saat banyak pemimpin-pemimpin yang lebih banyak berwacana daripada bekerja, dan sibuk dengan program-program pencitraan. Jokowi hadir sebagai sosok pemimpin yang diidam-idamkan rakyat, dengan kesederhanaanya, ketegasannya, lebih banyak di lapangan dengan blusukan mengontrol program-program yang dijalankannya, dan mau berdialog dengan masyarakat secara langsung tanpa sekat, menjadikan Jokowi sebagai sosok ideal yang diharapkan memimpin bangsa ini, mengentaskan bangsa ini dari keterpurukan.
Rakyat makin cerdas, mereka bisa membedakan mana yang jujur pada rakyat, dan mana yang sekedar pencitraan, contohnya iklan Aburizal Bakrie (ARB) yang hampir setiap hari tayang di TV nasional, yang ingin menunjukkan bahwa dirinya sebagai sosok yang dekat dengan rakyat, tetapi rakyat membaca sebaliknya, apa yang ada dalam iklan tersebut sesungguhnya tidak lebih dari sekedar upaya pencitraan, bukan sebuah kejujuran. Buktinya, elektabilitas ARB masih kalah dari Jokowi atau tokoh-tokoh lain. Dibalik elektabilitas tinggi pencapresan Jokowi, sesungguhnya menunjukkan bahwa rakyat sudah muak dengan pemimpin-pemimpin yang bekerja hanya untuk pencitraan, lebih mementingkan kepentingan diri sendiri dan partai. Rakyat menginginkan pemimpin yang jujur, dekat dengan mereka, mau mendengarkan keluhan mereka, dan mau bekerja untuk mereka.
0 comments:
Post a Comment